Korelasi Antara Undang-Undang Pornografi dengan Paradigma Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum
Oleh : Lina Indah Yunaini, NIM :
1711143043, HES IIIB
Diajukan untuk memenuhi tugas Sosiologi hukum tanggal 08 November
2015
Perubahan pola perilaku masyarakat dipengaruhi oleh faktor internal
dan faktor eksternal, faktor internal salah satunya adanya penemuan baru. Berubahnya
perilaku masyarakat sekian puluh persen dipengaruhi oleh salah satu media audio
visual bernama TV dan internet, tontonan yang tidak selamanya selaras dengan
nilai-nilai Islam, bahkan sering kali bertentangan, seperti pornografi. Pergeseran
nilai ini tak bisa dihindari. Apa yang dulu dianggap tabu, sekarang menjadi
sesuatu yang dianggap biasa bahkan hebat. Tidak jarang yang menentang arus
tersebut dianggap kuper atau tidak gaul. Faktor eksternal salah satunya adalah
munculnya budaya baru di negeri ini, budaya serba boleh (permisif) dalam
pergaulan antarlawan jenis. Apa yang dulu dianggap porno dan asusila menjadi
hal yang biasa. Bahkan ada kecenderungan punya anak di luar nikah pun
ditoleransi sebagai sebuah kewajaran. Sikap masyarakat demikian sangat
memprihatinkan karena hal itu menunjukkan peran kontrol masyarakat terhadap
pornografi sudah mati.
Dengan
demikian ketika para pendukung moral meneriakkan pornografi, sebagian besar
masyarakat kita cuek, acuh tak acuh, atau tidak peduli. Sebagian masyarakat
berontak akan adanya UU pornografi. Mereka menganggap UU ini akan
mendiskriminasi pihak perempuan, serta menyebabkan disintegrasi. Bahkan Dr
Boyke Dian Nugraha, pakar seksologi, di hadapan anggota legislatif yang tengah
merancang RUU tersebut, mengatakan bahwa UU Antipornografi substansinya
cenderung mencampuri urusan pribadi. Ia berpendapat bahwa untuk mengatasi
dampak pornografi, pendidikan seks lebih penting dibanding sebuah UU. Ia juga
mengatakan bahwa ketika pendidikan seks diberikan secara tepat, maka ancaman
pornografi bukanlah sesuatu yang menakutkan. Proteksi yang terlalu berlebihan
dalam pemilihan yang bersifat pribadi, merupakan cara pendidikan yang hanya
berlaku untuk anak-anak.
Sebagian
masyarakat menyuarakan kata setuju akan pengesahan UU pornografi ini, guna
mengurangi keresahan masyarakat akan beredarnya situs-situs porno secara bebas,
mengantisipasi maraknya tindak asusila pada usia anak-anak, dan melindungi
moral generasi bangsa. Pornografi di Indonesia adalah ilegal, namun penegakan
hukumnya lemah dan interpretasinya pun tidak sama dari zaman ke zaman. Dulunya masalah
pornografi hanya ditangani oleh KUHP Buku Kedua Bab XIV tentang Kejahatan
Terhadap Kesusilaan. Seiring kecanggihan teknologi situs-situs pornografi yang
dulunya bisa disensor sekarang bisa dilihat tanpa ada hambatan. Kecanggihan
yang tidak bisa ditangani oleh pemerintah ini menimbulkan keresahan pada
masyarakat. Maka sekitar tahun 2000 pemerintah berinisiatif untuk membuat RUU
APP. Tanggapan pemerintah akan hal ini membuktikan bahwa hukum itu sebagai
pelayanan kebutuhan masyarakat dengan salah satu ciri hukum itu menyesuaikan
diri pada perubahan sosial. Namun pada UU ini juga ditemukan bahwa pemerintah
tidak hanya merespon tetapi juga menciptakan RUU APP yang tujuannya untuk
mengantisipasi masalah pornografi di masa yang akan datang. Dalam hal ini juga
muncul paradigma hukum sebagai alat rekayasa sosial.
Proses
pembuatan UU Pornografi berlangsung sangat lama. Pembahasan
akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR, berikut rinciannya :
1. Dalam perjalanannya draf RUU
APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93
pasal.
2.
Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa
82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan
kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain
itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Karena
definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi
pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos
(gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti “tulisan atau gambar tentang
pelacur”. Definisi pornoaksi pada draft ini adalah adalah “upaya mengambil
keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi”. Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007,
RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun
diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi
dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri
Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus
DPR.
3.
Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September
2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.
Meskipun UU Pornografi telah disahkan pada
tanggal 23 September 2008, tetapi masih banyak terjadi kontroversi tentang UU
pornografi ini. Salah satunya ada yang berpendapat bahwa UU ini mengandung atau
memuat kata-kata yang ambigu, tidak jelas, bahkan tidak bisa dirumuskan secara
absolut. Pasal yang dianggap ambigu disini adalah :
Bab 1, pasal 1, ayat 1; ” yang dapat
membangkitkan hasrat seksual”
Bab II,
pasal 6; “Setiap orang dilarang atau
menyimpan produk pornografi”. Larangan “memiliki atau menyimpan “tidak termasuk
untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. yang dimaksud dengan “Yang
diberi kewenangan oleh perundang-undangan “misalnya lembaga yang diberi
kewenangan menyensor film,lembaga yang mengawasi penyiaran,lembaga penegak
hukum,lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual,dan lembaga
pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan,
laboratorium dan sarana pendidikan lainnya. kegiatan memperdengarkan ,
mempertontonkan,memanfaatkan, memiliki,atau menyimpan barang pornografi dalam
ketentuan ini hanya dapat digunakan ditempat atau di lokasi yang disediakan
untuk tujuan lembaga yang dimaksud.
Pasal 8; “Setiap
orang dilarang atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang
mengandung muatan pornografi”. ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku
dipaksa dengan ancaman atau diancam dibawah kekuasaan atau tekanan orang
lain,dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak
dipidana.
Pasal 14:
“Pembuatan, penyebarluasan,dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan
untuk kepentingan dan memiliki nilai; seni dan budaya, adat istiadat, dan
ritual tradisional”
Pasal 21:
“Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi”.
Semua pasal itu adalah ketentuan-ketentuan yang
dianggap tidak relevan dan diusulkan untuk diubah.
Pornografi berdampak meningkatnya tindak kriminal di bidang
seksual, baik kuantitas maupun jenisnya. Secara umum pornografi akan merusak
masa depan generasi muda sehingga mereka tidak lagi menghargai hakikat seksual,
perkawinan dan rumah tangga. Pornografi juga akan merusak tatanan norma-norma
dalam masyarakat akan mengalami kemerosotan kultural. Selain itu pornografi
akan merusak harkat dan martabat manusia sebagai citra sang Pencipta/Khalik
yang telah menciptakan manusia dengan keluhuran seksualitas sebagai alat
Pencipta untuk meneruskan generasi manusia dari waktu ke waktu dengan sehat dan
terhormat. Sehingga UU pornografi sangat dibutuhkan untuk menagani hal ini.
Menurut Rosce Pound sendiri hukum
berfungsi untuk merekayasa sosial. Hukum dipakai untuk mempengaruhi masyarakat
dengan sistem yang tetatur dan direncanakan terlebih dahulu. Rekayasa sosial
melalui hukum meliput :
1.
Menelaah
akibat-akibat sosial yang aktual dari adanya lembaga hukum.
2.
Melakukan study
sosiologis untuk mempersiapkan perundang-undangan.
3.
Menciptakan
efektivitas cara agar peraturan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
Dengan demikian dalam penciptaan hukum,
berbagai aspek sosial harus diperhatikan demi berlakunya hukum secara efektif.,
karena pada dasarnya hukum merupakan kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk
mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga sesuai dengan
tujuannya, pengaturan dalam UU Pornografi. Jhering berpendapat bahwa harus ada
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, karena itu
ada nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam memproses pembuatan hukum,
sehingga sukses tidaknya suatu proses hukum adalah dapat dilihat dari
pencapaian keseimbangan antara dua kepentingan tersebut.
Sebenarnya seluruh golongan masyarakat
maupun agama menyetujui adanya UU Pornografi, akan tetapi yang di permasalahkan
atau tidak disetujui adalah substansi atau isi dari UU Pornografi tersebut
karena dianggap hanya mengakomodir keinginan satu golongan atau agama tertentu.
Pemerintah belum memperhatikan bahwa WNI itu bersifat heterogen. Pihak
perempuan yang kontra dengan UU ini merasa pemerintah terlalu menyudutkan pihak
wanita, terkesan pihak wanita berlaku tidak sopan dan tidak bisa menutup aurat
secara rapat, masyarakat juga menganggap bahwa ranah hukum telah ikut campur
pada ranah pribadi wargan indonesia. Para
pengecam menganggap bahwa sebuah pornografi tidak diperlukan karena untuk
mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah memperkuat kemampuan
masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri pornografi. Jadi yang
diperlukan adalah pendidikan melek media dan bukan Undang-undang.
Perubahan
sosial yang terjadi pada masyarakat yang pro terhadap UU pornografi sangat
beragam. Salah satunya dukungan dari ASA (Aliansi Selamatkan Anak), organisasi
ini sangat mendukung adanya UU Pornografi. Menurut mereka UU perlindungan anak
saja tidak cukup mereka butuh peraturan yang lebih efektif agar anak-anak
terhindar dari masalah-masalah yang
berbau pornografi.
Bahan pornografi diperkirakan telah masuk ke Nusantara
paling lambat pada abad ke-17, dibawa oleh pedagang-pedagang dari Belanda
karena ketidaktahuan pedagang masa itu mengenai selera warga setempat.[1] Pornografi di Indonesia
adalah ilegal, namun penegakan hukumnya lemah dan interpretasinya pun tidak
sama dari zaman ke zaman. Perkembangan pada film pornografi tahun 1950-1990
masih bisah disensor oleh pihak yang berwenang. Namun pada tahun 1990-2000-an pengaruh
kemajuan teknologi informasi semakin terasa dan sukar dihindari. Kehadiran parabola
televisi, VCD,
laser disc, DVD dan internet,
semuanya membuat film dan gambar panas semakin mudah ditemukan, baik di kota
besar maupun kecil, bahkan sampai ke pedesaan sekalipun.
Selain itu,bukan hanya kalangan masyarakat
saja yang berbuat asusila, kalangan selebriti dan pejabat pun ada pula yang
mendokumentasikan kegiatan intim mereka,namun disalahgunakan oleh sebagian
orang. Sebagian kalangan di masyarakat berusaha menangkal perubahan-perubahan
dahsyat ini melalui Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan
Pornoaksi. Sebagian lagi merasa bahwa RUU APP ini hanya akan
memasung kreativitas seni dan mengabaikan kemajemukan di dalam masyarakat.
UU ini merupakan wujud
kekhawatiran anggota legislatif yang melihat betapa rusaknya moral anak bangsa
akibat peredaran segala macam bentuk produk pornografi. Melatarbelakangi
pembuatan UU ini adalah melihat pada kenyataan bahwa pornografi di Indonesia
sudah sangat merajalela. Bahkan terkesan bebas tanpa adanya regulasi yang
membatasi peredarannya. Berbagai reaksi mengemuka terkait kecemasan terhadap
ancaman bahaya pornografi. Kekhawatiran masyarakat ini kemudian diakomodir oleh
DPR yang mencoba merumuskan UU ini. Sebagian besar penentang argumen UU ini
berpendapat bahwa UU ini terlalu banyak masuk ke dalam ruang privat warga
negara. Argumen ini memang terlihat logis, namun perlu dicermati lebih lanjut.
Kita harus merujuk pada pembukaan UUD 1945 alinea 4 yang secara jelas
menyatakan bahwa Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan
(wellfaarstaat). Konsekuensi logis dari konsep negara kesejahteraan adalah
negara dapat masuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat.
Namun isi pasal RUU APP ini
ternyata menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kelompok yang mendukung
diantaranya MUI,
ICMI, FPI, MMI, Hizbut
Tahrir, dan PKS.
MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat
sebaiknya disimpan di museum. Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis
perempuan (feminisme),
seniman, artis, budayawan, dan akademisi.
Penolakan keras dari beberapa daerah, seperti
Bali, Sulawesi Utara, Yogyakarta, Papua, dan Nusa Tenggara Timur, tidak
menyurutkan aksi para anggota pansus RUU Pornografi untuk meloloskannya menjadi
UU. Padahal UU No 10 tahun 2004 menyatakan bahwa prinsip pembuatan
undang-undang harus memuat unsur kenusantaraan. Jelas sekali UU ini sudah
mengabaikan unsur-unsur keberagaman yang secara konten ditolak dalam beberapa
pasal-pasal yang ada di UU Pornografi. Seharusnya para perumus UU Pornografi
tidak menganggap remeh reaksi penolakan dari beberapa daerah dan elemen
masyarakat lain. Untuk kondisi ini alangkah baiknya pemerintah lebih
berhati-hati dalam membuat sebuah undang-undang, apalagi yang menyangkut
privasi seseorang. Ada banyak alternatif yang bisa dilakukan untuk menekan efek
penyebaran hal-hal yang berkaitan dengan pornografi semisal memperketat UU
penyiaran karena dari media ini pornografi dapat menyebar luar ke semua
kalangan, UU perlindungan wanita dan anak-anak karena mereka yang paling
mungkin menjadi objek pelecehan seksual.
Masalah pornografi yang semakin runyam,
menyebabkan keresahan bagi masyarakat. maraknya pornografi memicu perubahan
sosial bagi masyarakat. Hal ini dapat memicu tindak pelecehan seksual yang banyak
dialami oleh anak-anak dan wanita. Pornografi juga merusak tatanan norma-norma
dalam masyarakat. Hal ini juga berdampak besar bagi negara kita, yaitu rusaknya
moral generasi penerus bangsa. Hal ini sangat meresahkan masyarakat dan negara.
Perubahan yang begitu cepat ini memunculkan hukum baru. Dengan adanya hukum
baru ini, perubahan pandangan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat diakomodir
oleh hukum. Sehingga tidak ada lagi kekosongan atas kehendak hukum masyarakat.
Pembuatan UU Pornografi melalui proses yang
panjang, rencana untuk mempersiapkannya secara matang menimbulkan pro dan
kontra dalam masyarakat. Meskipun begitu pembuatan UU Pornografi diciptakan
untuk menghadapi atau mengantisipasi persoalan hukum di masa yang akan datang,
seperti mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di
masyarakat, juga guna untuk membina dan mendidik moral serta akhlak masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah, Zulfatun. Sosiologi
Hukum Sebuah Pengantar. Cet ke 1. Yokgakarta: Teras, 2012.
Undang-Undang Pornografi dan penjelasannya Dilengkapi dengan Pro-Kontra. cet ke 1. Yogyakarta : Indonesia Tera Anggota IKAPI.2008.
http://buletinwiweka.blogspot.co.id/2009/02/uu-pornografi-sejarah-duka-bangsa.html
(diakses
pada tanggal 06 November 2015, pukul 09.30)
https://fazrin.wordpress.com/2009/02/02/pro-kontra-seputar-uu-pornografi/
(diakses pada tanggal 06 November 2015, pukul 10.30)
http://hasiltugasku.blogspot.co.id/2011/04/porno-grafi-porno-aksi.html
(diakses pada tanggal 06 November 2015, pukul 10.03)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_pornografi(diakses
pada tanggal 06 November 2015, pukul 10.00)
https://ilmukamu.wordpress.com/2012/07/09/analisis-uji-konstitusional-undang-undang-no-44-tahun-2008-tentang-pornografi/
(diakses pada tanggal 05 November 2015, pukul 09.00)
http://theofransuslitaay.blogspot.co.id/2006/03/memberantas-pornografi-atau-mengekang.html
(diakses pada tanggal 03 November 2015, pukul 08.00)
http://wujudkanuupornografi.blogspot.co.id/
(diakses pada tanggal
04 November 2015, pukul 11.03)
https://5il4o8.wordpress.com/2009/01/30/undang-%E2%80%93-undang-pornografi-dan-pornoaksi/
(diakses
pada tanggal 05 November 2015, pukul 10.00)
Menurut saya artikel yang anda buat sudah cukup baik. Dengan artikel ini mungkin bisa menambah wawasan mengenai persoalan pornografi.
BalasHapusTetapi maaf sebelumnya, setelah saya membaca artikel anda, saya belum bisa memahami kolerasi antara Undang-Undang Pornografi dengan Paradigma Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum secara keseluruhan. Disini anda belum menjelaskan mengenai paradigma perubahan sosial dan perubahan hukum itu sendiri. Selain itu, untuk perubahan pasal-pasal yang dicantumkan hanya anda sebutkan bahwa pasal-pasal tersebut tidak relevan tetapi alasan dan hubungannya dengan paradigma hukum belum anda jelaskan.. hm, mngkin ini sedikit masukan dari saya.. :)
silahkan berkunjung ke blog saya.. terimakasih.. ;)
terima kasih sudah berkunjung dan memberi saran di blog saya. Maaf sebelumnya kalau saya tidak menjelaskan paradigma perubahan sosial dan perubahan hukum secara rinci, tapi disini dalam penjelasannya saya langsung mengarah pada respon masyarakat dan pembuatan hukumnya. Pada pengesahan UU Pornografi, untuk penjelasan pasal yang tidak relevan di artikel sudah dijelaskan bahwa hubungannya dengan paradigma perubahan sosial dan perubahan hukum adalah menimbulkan pro-kontra dikarenakan kalimat pada pasal-pasal tersebut dianggap ambigu dan tidak absolut. kritik dan saran anda sangat saya butuhkan untuk perubahan lebih baik kedepannya. :)
HapusArtikel anda sudah cukup bagus, karena dengan membaca artikel ini dapat menambah pengetahuan kita tentang undang-undang pornografi. Tetapi mohon maaf sebelumnya, menurut saya artikel anda terlalu teoritis, mungkin alangkah lebih baiknya bisa disederhanakan lagi supaya pembaca dapat lebih mudah mamahaminya. Mengenai analisisnya, juga cukup baik karena anda telah memaparkan pro kontra undang-undang pornografi dalam masyarakat dan keterkaitannya tentang paradigma perubahan sosial.
BalasHapusSilahkan berkunjung ke blog saya, terimakasih.
Artikel yang sangat baik,dan menambah pengetahuan saya,setelah saya membaca artikel anda memang benar untuk mencegah terjadi pornografi yang semakin merajalela di indonesia,ini harus melibatkan banyak pihak diantaranya pemerintah,masyarakat,keluarga,sekolah dll,dan tidak hanya undang-undang saja.contoh yang baik dari pemerintah juga tidak kalah pentingnya,seperti anggota legislatif,dia yg membuat uu ini namun banyak dari mereka melanggarnya,kalau yg membuat saja tidak patuh undang-undang apalagi masyarakatnya.:-):-)
BalasHapusartikel anda cukum membantu , menambah pengetahuan .....
BalasHapustrimakasih
artikel anda bagus, namun yang belom saya ketahui disini seorang yang melakukan pornografi itu apa ada sebuah denda atau hukuman bagi pelaku tersebut,,?
BalasHapusterima kasih dengan saya memebaca maka saya mengetahui,,,
terima kasih atas kunjungannya. untuk hukumannya secara lengkap bisa di lihat pada UU Pornografi sendiri, khususnya bab VII ttg ketentuan pidana, ini salah satu pasalnya
HapusPasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
artikel anda sudah cukup bagus, tetapi saya hanya sedikit mengoreksi analisis anda, anda menyebutkan dalam analisis bahwa pada zaman dulu media internet dalam pengaksessan situs porno bisa disaring, padahal kita ketahui pengaksesan situs porno pada masa awal perkembangan internet, pengaksesan situs porno sangatlah bebas,, mungkin bisa anda jelaskan perihal tersebut???!!! terimakasih
BalasHapusterimakasih sudah di blog saya dan memberikan saran.
Hapusmungkin perlu ditinjau kembali, dalam pembahasan artikel di atas saya lebih menekankan pada pensensoran film yang berbau porno. Untuk kemunculan Internet sendiri mulai pada tahun 1990-2000-an, nha..pada waktu itu pemerintah merasa kewalahan karena kemajuan teknologi membuat situs-situs porno semakin mudah diakses. Setelah itu pemerintah berinisiatif untuk membuat RUU APP.
mungkin itu penjelasan dari saya, semoga bermanfaat :)
Nice post
BalasHapusDengan membaca artikel ini kita bisa tau bagaimana pornografi dan pornoaksi ini di atur, saya setuju dengan diadakannya UU ini, mengingat banyak sekali hal seperti itu dapat dengan mudah kita jumpai melalui situs2 yg dapat dibuka oleh banyak orang tanpa ada batasan, namun sayang sekali pemerintah belum tegas menegak kan peraturan , padahal hal ini sangat merusak moral masyarakat.
terimaksih sebelumnya saya diperkenankan berkunjung ke blog ini. hhe
BalasHapusdisini saya merupakan masyarakat yang pro dengan UU ini, menurut saya uu ini adalah harapan masyarakat untuk meminimalisir adanya kasus-kasus pelecehan sosial. pelecehan seksual sendiri tentunya muncul karena seringnya seseorang mengakses hal-hal yang berbau pornografi yg menyebabkan timbulnya hasrat untuk berbuat hal-hal yang tidak baik. apalagi dengan berkembangnya teknologi yg semakin canggih (situs-situs internet) tentu saja akan mudah memperolehnya. yang lebih meprihatinkan anak kecilpun sekarang sudah banyak yang menyukai hal-hal berbau pornografi, tentunya ini menjadi PR penting untuk para ortu, agar lebih ketat lebih mengawasi anaknya.
Untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan internet. Alhamdulillah Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal 27 ayat 1 berbunyi ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1 yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
artikel anda cukup baik, dari sini saya lebih mengetahui bahwa dengan adanya UU pornografi dapat melindungi bagi masyarakat yang menjadi objek pelecehan seksual, terutama bagi perempuan dan anak-anak. di sisi lain, pemerintah harus lebih selektif dalam menyaring berita dalam media sosial agar tidak menjadi tontonan yang dapat merusak moral masyarakat. trimakasih
BalasHapusterimkasih atas kritik dan sarannya :D
Hapusmenurut saya undang-undang anda bgus tpi alngkah bagusnya kalau ada denda atau hukuman orang yang melakukan tersebut
BalasHapusNilai 60
BalasHapus