Korelasi Antara Undang-Undang Pornografi dengan Paradigma Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum



Oleh : Lina Indah Yunaini, NIM : 1711143043, HES IIIB
Diajukan untuk memenuhi tugas Sosiologi hukum tanggal 08 November 2015


Perubahan pola perilaku masyarakat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, faktor internal salah satunya adanya penemuan baru. Berubahnya perilaku masyarakat sekian puluh persen dipengaruhi oleh salah satu media audio visual bernama TV dan internet, tontonan yang tidak selamanya selaras dengan nilai-nilai Islam, bahkan sering kali bertentangan, seperti pornografi. Pergeseran nilai ini tak bisa dihindari. Apa yang dulu dianggap tabu, sekarang menjadi sesuatu yang dianggap biasa bahkan hebat. Tidak jarang yang menentang arus tersebut dianggap kuper atau tidak gaul. Faktor eksternal salah satunya adalah munculnya budaya baru di negeri ini, budaya serba boleh (permisif) dalam pergaulan antarlawan jenis. Apa yang dulu dianggap porno dan asusila menjadi hal yang biasa. Bahkan ada kecenderungan punya anak di luar nikah pun ditoleransi sebagai sebuah kewajaran. Sikap masyarakat demikian sangat memprihatinkan karena hal itu menunjukkan peran kontrol masyarakat terhadap pornografi sudah mati.
Dengan demikian ketika para pendukung moral meneriakkan pornografi, sebagian besar masyarakat kita cuek, acuh tak acuh, atau tidak peduli. Sebagian masyarakat berontak akan adanya UU pornografi. Mereka menganggap UU ini akan mendiskriminasi pihak perempuan, serta menyebabkan disintegrasi. Bahkan Dr Boyke Dian Nugraha, pakar seksologi, di hadapan anggota legislatif yang tengah merancang RUU tersebut, mengatakan bahwa UU Antipornografi substansinya cenderung mencampuri urusan pribadi. Ia berpendapat bahwa untuk mengatasi dampak pornografi, pendidikan seks lebih penting dibanding sebuah UU. Ia juga mengatakan bahwa ketika pendidikan seks diberikan secara tepat, maka ancaman pornografi bukanlah sesuatu yang menakutkan. Proteksi yang terlalu berlebihan dalam pemilihan yang bersifat pribadi, merupakan cara pendidikan yang hanya berlaku untuk anak-anak.
Sebagian masyarakat menyuarakan kata setuju akan pengesahan UU pornografi ini, guna mengurangi keresahan masyarakat akan beredarnya situs-situs porno secara bebas, mengantisipasi maraknya tindak asusila pada usia anak-anak, dan melindungi moral generasi bangsa. Pornografi di Indonesia adalah ilegal, namun penegakan hukumnya lemah dan interpretasinya pun tidak sama dari zaman ke zaman. Dulunya masalah pornografi hanya ditangani oleh KUHP Buku Kedua Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Seiring kecanggihan teknologi situs-situs pornografi yang dulunya bisa disensor sekarang bisa dilihat tanpa ada hambatan. Kecanggihan yang tidak bisa ditangani oleh pemerintah ini menimbulkan keresahan pada masyarakat. Maka sekitar tahun 2000 pemerintah berinisiatif untuk membuat RUU APP. Tanggapan pemerintah akan hal ini membuktikan bahwa hukum itu sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat dengan salah satu ciri hukum itu menyesuaikan diri pada perubahan sosial. Namun pada UU ini juga ditemukan bahwa pemerintah tidak hanya merespon tetapi juga menciptakan RUU APP yang tujuannya untuk mengantisipasi masalah pornografi di masa yang akan datang. Dalam hal ini juga muncul paradigma hukum sebagai alat rekayasa sosial.
Proses pembuatan UU Pornografi berlangsung sangat lama. Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR, berikut rinciannya :
1.    Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal.
2.    Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti “tulisan atau gambar tentang pelacur”. Definisi pornoaksi pada draft ini adalah adalah “upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi”. Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR.
3.    Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.
Meskipun UU Pornografi telah disahkan pada tanggal 23 September 2008, tetapi masih banyak terjadi kontroversi tentang UU pornografi ini. Salah satunya ada yang berpendapat bahwa UU ini mengandung atau memuat kata-kata yang ambigu, tidak jelas, bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Pasal yang dianggap ambigu disini adalah :
Bab 1, pasal 1, ayat 1; ” yang dapat membangkitkan hasrat seksual”
Bab II, pasal 6; “Setiap orang dilarang atau menyimpan produk pornografi”. Larangan “memiliki atau menyimpan “tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. yang dimaksud dengan “Yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan “misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film,lembaga yang mengawasi penyiaran,lembaga penegak hukum,lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual,dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium dan sarana pendidikan lainnya. kegiatan memperdengarkan , mempertontonkan,memanfaatkan, memiliki,atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan ditempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud.
Pasal 8; “Setiap orang dilarang atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”. ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam dibawah kekuasaan atau tekanan orang lain,dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.
Pasal 14: “Pembuatan, penyebarluasan,dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai; seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual tradisional”
Pasal 21: “Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi”.
Semua pasal itu adalah ketentuan-ketentuan yang dianggap tidak relevan dan diusulkan untuk diubah.
Pornografi berdampak meningkatnya tindak kriminal di bidang seksual, baik kuantitas maupun jenisnya. Secara umum pornografi akan merusak masa depan generasi muda sehingga mereka tidak lagi menghargai hakikat seksual, perkawinan dan rumah tangga. Pornografi juga akan merusak tatanan norma-norma dalam masyarakat akan mengalami kemerosotan kultural. Selain itu pornografi akan merusak harkat dan martabat manusia sebagai citra sang Pencipta/Khalik yang telah menciptakan manusia dengan keluhuran seksualitas sebagai alat Pencipta untuk meneruskan generasi manusia dari waktu ke waktu dengan sehat dan terhormat. Sehingga UU pornografi sangat dibutuhkan untuk menagani hal ini.
Menurut Rosce Pound sendiri hukum berfungsi untuk merekayasa sosial. Hukum dipakai untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang tetatur dan direncanakan terlebih dahulu. Rekayasa sosial melalui hukum meliput :
1.      Menelaah akibat-akibat sosial yang aktual dari adanya lembaga hukum.
2.      Melakukan study sosiologis untuk mempersiapkan perundang-undangan.
3.      Menciptakan efektivitas cara agar peraturan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
Dengan demikian dalam penciptaan hukum, berbagai aspek sosial harus diperhatikan demi berlakunya hukum secara efektif., karena pada dasarnya hukum merupakan kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga sesuai dengan tujuannya, pengaturan dalam UU Pornografi. Jhering berpendapat bahwa harus ada keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, karena itu ada nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam memproses pembuatan hukum, sehingga sukses tidaknya suatu proses hukum adalah dapat dilihat dari pencapaian keseimbangan antara dua kepentingan tersebut.
Sebenarnya seluruh golongan masyarakat maupun agama menyetujui adanya UU Pornografi, akan tetapi yang di permasalahkan atau tidak disetujui adalah substansi atau isi dari UU Pornografi tersebut karena dianggap hanya mengakomodir keinginan satu golongan atau agama tertentu. Pemerintah belum memperhatikan bahwa WNI itu bersifat heterogen. Pihak perempuan yang kontra dengan UU ini merasa pemerintah terlalu menyudutkan pihak wanita, terkesan pihak wanita berlaku tidak sopan dan tidak bisa menutup aurat secara rapat, masyarakat juga menganggap bahwa ranah hukum telah ikut campur pada ranah pribadi wargan indonesia. Para pengecam menganggap bahwa sebuah pornografi tidak diperlukan karena untuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri pornografi. Jadi yang diperlukan adalah pendidikan melek media dan bukan Undang-undang.
Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat yang pro terhadap UU pornografi sangat beragam. Salah satunya dukungan dari ASA (Aliansi Selamatkan Anak), organisasi ini sangat mendukung adanya UU Pornografi. Menurut mereka UU perlindungan anak saja tidak cukup mereka butuh peraturan yang lebih efektif agar anak-anak terhindar dari masalah-masalah yang  berbau pornografi.
Bahan pornografi diperkirakan telah masuk ke Nusantara paling lambat pada abad ke-17, dibawa oleh pedagang-pedagang dari Belanda karena ketidaktahuan pedagang masa itu mengenai selera warga setempat.[1] Pornografi di Indonesia adalah ilegal, namun penegakan hukumnya lemah dan interpretasinya pun tidak sama dari zaman ke zaman. Perkembangan pada film pornografi tahun 1950-1990 masih bisah disensor oleh pihak yang berwenang. Namun pada tahun 1990-2000-an pengaruh kemajuan teknologi informasi semakin terasa dan sukar dihindari. Kehadiran parabola televisi, VCD, laser disc, DVD dan internet, semuanya membuat film dan gambar panas semakin mudah ditemukan, baik di kota besar maupun kecil, bahkan sampai ke pedesaan sekalipun.
Selain itu,bukan hanya kalangan masyarakat saja yang berbuat asusila, kalangan selebriti dan pejabat pun ada pula yang mendokumentasikan kegiatan intim mereka,namun disalahgunakan oleh sebagian orang. Sebagian kalangan di masyarakat berusaha menangkal perubahan-perubahan dahsyat ini melalui Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Sebagian lagi merasa bahwa RUU APP ini hanya akan memasung kreativitas seni dan mengabaikan kemajemukan di dalam masyarakat.
UU ini merupakan wujud kekhawatiran anggota legislatif yang melihat betapa rusaknya moral anak bangsa akibat peredaran segala macam bentuk produk pornografi. Melatarbelakangi pembuatan UU ini adalah melihat pada kenyataan bahwa pornografi di Indonesia sudah sangat merajalela. Bahkan terkesan bebas tanpa adanya regulasi yang membatasi peredarannya. Berbagai reaksi mengemuka terkait kecemasan terhadap ancaman bahaya pornografi. Kekhawatiran masyarakat ini kemudian diakomodir oleh DPR yang mencoba merumuskan UU ini. Sebagian besar penentang argumen UU ini berpendapat bahwa UU ini terlalu banyak masuk ke dalam ruang privat warga negara. Argumen ini memang terlihat logis, namun perlu dicermati lebih lanjut. Kita harus merujuk pada pembukaan UUD 1945 alinea 4 yang secara jelas menyatakan bahwa Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan (wellfaarstaat). Konsekuensi logis dari konsep negara kesejahteraan adalah negara dapat masuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat.
Namun isi pasal RUU APP ini ternyata menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di museum. Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi.
Penolakan keras dari beberapa daerah, seperti Bali, Sulawesi Utara, Yogyakarta, Papua, dan Nusa Tenggara Timur, tidak menyurutkan aksi para anggota pansus RUU Pornografi untuk meloloskannya menjadi UU. Padahal UU No 10 tahun 2004 menyatakan bahwa prinsip pembuatan undang-undang harus memuat unsur kenusantaraan. Jelas sekali UU ini sudah mengabaikan unsur-unsur keberagaman yang secara konten ditolak dalam beberapa pasal-pasal yang ada di UU Pornografi. Seharusnya para perumus UU Pornografi tidak menganggap remeh reaksi penolakan dari beberapa daerah dan elemen masyarakat lain. Untuk kondisi ini alangkah baiknya pemerintah lebih berhati-hati dalam membuat sebuah undang-undang, apalagi yang menyangkut privasi seseorang. Ada banyak alternatif yang bisa dilakukan untuk menekan efek penyebaran hal-hal yang berkaitan dengan pornografi semisal memperketat UU penyiaran karena dari media ini pornografi dapat menyebar luar ke semua kalangan, UU perlindungan wanita dan anak-anak karena mereka yang paling mungkin menjadi objek pelecehan seksual.
Masalah pornografi yang semakin runyam, menyebabkan keresahan bagi masyarakat. maraknya pornografi memicu perubahan sosial bagi masyarakat. Hal ini dapat memicu tindak pelecehan seksual yang banyak dialami oleh anak-anak dan wanita. Pornografi juga merusak tatanan norma-norma dalam masyarakat. Hal ini juga berdampak besar bagi negara kita, yaitu rusaknya moral generasi penerus bangsa. Hal ini sangat meresahkan masyarakat dan negara. Perubahan yang begitu cepat ini memunculkan hukum baru. Dengan adanya hukum baru ini, perubahan pandangan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat diakomodir oleh hukum. Sehingga tidak ada lagi kekosongan atas kehendak hukum masyarakat.
Pembuatan UU Pornografi melalui proses yang panjang, rencana untuk mempersiapkannya secara matang menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Meskipun begitu pembuatan UU Pornografi diciptakan untuk menghadapi atau mengantisipasi persoalan hukum di masa yang akan datang, seperti mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat, juga guna untuk membina dan mendidik moral serta akhlak masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ni’mah,  Zulfatun. Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar. Cet ke 1. Yokgakarta: Teras, 2012.
Undang-Undang Pornografi dan penjelasannya Dilengkapi dengan Pro-Kontra. cet ke 1. Yogyakarta : Indonesia Tera Anggota IKAPI.2008.
https://fazrin.wordpress.com/2009/02/02/pro-kontra-seputar-uu-pornografi/ (diakses pada tanggal 06 November 2015, pukul 10.30)
http://hasiltugasku.blogspot.co.id/2011/04/porno-grafi-porno-aksi.html (diakses pada tanggal 06 November 2015, pukul 10.03)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_pornografi(diakses pada tanggal 06 November 2015, pukul 10.00)
http://wujudkanuupornografi.blogspot.co.id/  (diakses pada tanggal 04 November 2015, pukul 11.03)





Komentar

  1. Menurut saya artikel yang anda buat sudah cukup baik. Dengan artikel ini mungkin bisa menambah wawasan mengenai persoalan pornografi.
    Tetapi maaf sebelumnya, setelah saya membaca artikel anda, saya belum bisa memahami kolerasi antara Undang-Undang Pornografi dengan Paradigma Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum secara keseluruhan. Disini anda belum menjelaskan mengenai paradigma perubahan sosial dan perubahan hukum itu sendiri. Selain itu, untuk perubahan pasal-pasal yang dicantumkan hanya anda sebutkan bahwa pasal-pasal tersebut tidak relevan tetapi alasan dan hubungannya dengan paradigma hukum belum anda jelaskan.. hm, mngkin ini sedikit masukan dari saya.. :)
    silahkan berkunjung ke blog saya.. terimakasih.. ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih sudah berkunjung dan memberi saran di blog saya. Maaf sebelumnya kalau saya tidak menjelaskan paradigma perubahan sosial dan perubahan hukum secara rinci, tapi disini dalam penjelasannya saya langsung mengarah pada respon masyarakat dan pembuatan hukumnya. Pada pengesahan UU Pornografi, untuk penjelasan pasal yang tidak relevan di artikel sudah dijelaskan bahwa hubungannya dengan paradigma perubahan sosial dan perubahan hukum adalah menimbulkan pro-kontra dikarenakan kalimat pada pasal-pasal tersebut dianggap ambigu dan tidak absolut. kritik dan saran anda sangat saya butuhkan untuk perubahan lebih baik kedepannya. :)

      Hapus
  2. Artikel anda sudah cukup bagus, karena dengan membaca artikel ini dapat menambah pengetahuan kita tentang undang-undang pornografi. Tetapi mohon maaf sebelumnya, menurut saya artikel anda terlalu teoritis, mungkin alangkah lebih baiknya bisa disederhanakan lagi supaya pembaca dapat lebih mudah mamahaminya. Mengenai analisisnya, juga cukup baik karena anda telah memaparkan pro kontra undang-undang pornografi dalam masyarakat dan keterkaitannya tentang paradigma perubahan sosial.

    Silahkan berkunjung ke blog saya, terimakasih.

    BalasHapus
  3. Artikel yang sangat baik,dan menambah pengetahuan saya,setelah saya membaca artikel anda memang benar untuk mencegah terjadi pornografi yang semakin merajalela di indonesia,ini harus melibatkan banyak pihak diantaranya pemerintah,masyarakat,keluarga,sekolah dll,dan tidak hanya undang-undang saja.contoh yang baik dari pemerintah juga tidak kalah pentingnya,seperti anggota legislatif,dia yg membuat uu ini namun banyak dari mereka melanggarnya,kalau yg membuat saja tidak patuh undang-undang apalagi masyarakatnya.:-):-)

    BalasHapus
  4. artikel anda cukum membantu , menambah pengetahuan .....
    trimakasih

    BalasHapus
  5. artikel anda bagus, namun yang belom saya ketahui disini seorang yang melakukan pornografi itu apa ada sebuah denda atau hukuman bagi pelaku tersebut,,?
    terima kasih dengan saya memebaca maka saya mengetahui,,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih atas kunjungannya. untuk hukumannya secara lengkap bisa di lihat pada UU Pornografi sendiri, khususnya bab VII ttg ketentuan pidana, ini salah satu pasalnya

      Pasal 29
      Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

      Hapus
  6. artikel anda sudah cukup bagus, tetapi saya hanya sedikit mengoreksi analisis anda, anda menyebutkan dalam analisis bahwa pada zaman dulu media internet dalam pengaksessan situs porno bisa disaring, padahal kita ketahui pengaksesan situs porno pada masa awal perkembangan internet, pengaksesan situs porno sangatlah bebas,, mungkin bisa anda jelaskan perihal tersebut???!!! terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih sudah di blog saya dan memberikan saran.

      mungkin perlu ditinjau kembali, dalam pembahasan artikel di atas saya lebih menekankan pada pensensoran film yang berbau porno. Untuk kemunculan Internet sendiri mulai pada tahun 1990-2000-an, nha..pada waktu itu pemerintah merasa kewalahan karena kemajuan teknologi membuat situs-situs porno semakin mudah diakses. Setelah itu pemerintah berinisiatif untuk membuat RUU APP.
      mungkin itu penjelasan dari saya, semoga bermanfaat :)

      Hapus
  7. Nice post
    Dengan membaca artikel ini kita bisa tau bagaimana pornografi dan pornoaksi ini di atur, saya setuju dengan diadakannya UU ini, mengingat banyak sekali hal seperti itu dapat dengan mudah kita jumpai melalui situs2 yg dapat dibuka oleh banyak orang tanpa ada batasan, namun sayang sekali pemerintah belum tegas menegak kan peraturan , padahal hal ini sangat merusak moral masyarakat.

    BalasHapus
  8. terimaksih sebelumnya saya diperkenankan berkunjung ke blog ini. hhe
    disini saya merupakan masyarakat yang pro dengan UU ini, menurut saya uu ini adalah harapan masyarakat untuk meminimalisir adanya kasus-kasus pelecehan sosial. pelecehan seksual sendiri tentunya muncul karena seringnya seseorang mengakses hal-hal yang berbau pornografi yg menyebabkan timbulnya hasrat untuk berbuat hal-hal yang tidak baik. apalagi dengan berkembangnya teknologi yg semakin canggih (situs-situs internet) tentu saja akan mudah memperolehnya. yang lebih meprihatinkan anak kecilpun sekarang sudah banyak yang menyukai hal-hal berbau pornografi, tentunya ini menjadi PR penting untuk para ortu, agar lebih ketat lebih mengawasi anaknya.
    Untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan internet. Alhamdulillah Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal 27 ayat 1 berbunyi ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1 yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    BalasHapus
  9. artikel anda cukup baik, dari sini saya lebih mengetahui bahwa dengan adanya UU pornografi dapat melindungi bagi masyarakat yang menjadi objek pelecehan seksual, terutama bagi perempuan dan anak-anak. di sisi lain, pemerintah harus lebih selektif dalam menyaring berita dalam media sosial agar tidak menjadi tontonan yang dapat merusak moral masyarakat. trimakasih

    BalasHapus
  10. menurut saya undang-undang anda bgus tpi alngkah bagusnya kalau ada denda atau hukuman orang yang melakukan tersebut

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAK MEREK

Tabel Jenis dan Syarat pendirian Bank sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia

Pembahasan UU No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas BAB VII dan VIII